Tantangan Komunikasi Pendidikan Era 5.0, Prof. Iswandi: Kita Butuh Kemantapan Literasi
Bogor, USHUL NEWS – Era media baru atau era digital seperti sekarang ini sudah diramalkan akan mengakibatkan matinya akademisi dan perguruan tinggi karena berbagai macam faktor. Dalam konteks ini, kita butuh kemantapan literasi. Demikian disampaikan secara virtual via Zoom Meeting oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag., M.Si., pada gelaran Workshop Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Albero Convention Hotels & Resort, Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Rabu (22/6/2022).
Sesi pemaparan materi tentang “Tantangan Komunikasi Pendidikan Era 5.0” ini dibuka oleh Lisfa Sentosa Aisyah, MA selaku MC.
“Sebagai upaya rekognisi global, Fakultas Uhsuluddin telah melakukan kerjasama dengan beberapa universitas di luar negeri,” ucapnya membuka acara, yang secara langsung menyerahkan sesi diskusi selanjutnya kepada moderator.
Moderator acara, Siti Nadroh, M.Ag., mengawali diskusi mengatakan, masyarakat Era Society 5.0 ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari
“Era Society 5.0 harus kita hadapi dan kita sama-sama tahu bahwa dunia saat ini berada pada titik balik yang terus berubah secara radikal dan tidak berkesinambungan (era disruptif), serta berada pada zaman kemajuan teknologi informasi yang disiapkan membawa perubahan lebih baik di masa depan,” katanya.
Untuk itu, Ia melanjutkan, kita memerlukan upaya sosial baru terhadap pendidikan, karena banyak hal yang akan kita hadapi ke depan.
“Karena jika kita tidak menyiasati kemajuan teknologi informasi ini, termasuk juga menguasainya, kita akan semakin tertinggal. Sehingga apa yang diharapkan kepada mahasiswa mungkin saja tidak terpenuhi dengan baik,” jelasnya.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra, dalam pemaparan materinya menjelaskan, saat ini kita berhadapan dengan karakter mahasiswa yang berbeda dengan kita dulu, di era transformasi digital ini.
“Untuk itu, materi siang hari ini sangat penting bagi kita, terkait dengan bagaimana dosen memiliki kemampuan dalam Learning Manajement System. Bagaimana literasi yang harus kita kuasai untuk hidup, tumbuh dan berkembang,” jelas Iswandi.
“Rekognisi global ini merupakan program unggulan kami di UIN Sunan Kalijaga. Untuk itu, siang ini saya akan menyampaikan tentang ‘Meraih Rekognisi’. Ini merupakan tema nasional sebenarnya. Ini yang mungkin nanti ada sedikit refleksi bagi kita. Kalo kita hidup pada konteks ini kita butuh kemantapan literasi. Hari ini kita akan membicarakan fenomenanya, bahwa betapa mudahnya kita mendapatkan berbagai macam informasi dari belahan dunia dengan akses yang sangat mudah lewat internet,” imbuhnya.
Menurutnya, Era society ini sebenarnya adalah produk bangsa Jepang sejak 2019, kemudian merambah Negara-negara maju lain. Era ini adalah antitesis dari era-era sebelumnya yang melahirkan era disruptif yang menyebabkan ketidakpastian yang kompleks dan ambigu. Sehingga, tatanan sosial-global berubah, bergeser dan beralih.
“Pada era ini, terjadi pola komunikasi yang kacau. Dulu alur komunikasi begitu jelas, tapi sekarang sudah tidak bisa jelas lagi. Siapa yang berbicara, berbicara apa, media salurannya apa, disampaikan untuk siapa dan dampaknya seperti apa sudah tidak jelas lagi, bahkan sudah sulit dilacak, sudah simpang siur,” ujarnya.
Iswandi menambahkan, sesuatu yang sepi di dunia nyata bisa tiba-tiba viral dan terkenal di dunia maya. “Hari ini juga orang lebih khawatir bila kehilangan HP. Ini terjadi karena media baru memiliki karakteristik bahwa pesan yang disampaikan dari satu orang untuk semua orang, penyebaran pesan juga tidak melalui gatekeeper, penyebaran pesan bersifat real time dan penerima pesan yang justru menentukan interaksi,” paparnya lagi.
Lantas, bagaimana masa depan PTKIN? Iswandi menjelaskan, PTKIN yang mampu beradaptasi dan berkolaborasi yang akan tetap bertahan, yang tidak mampu beradaptasi akan punah dan dilupakan. Kalaupun ada, kondisinya la yamutu wala yahya; tidak bermutu dan tidak berdaya.
“Kemudian bagaimana respons Negara atas problem ini? Kemenristekdikti memfasilitasi penerapan Massive Open Daring Course (MOOCs) melalu program Pembelajaran Daring Indonesia Terbuka dan Terpadu (PDITT). Saat ini berganti nama Sistem Pembelajaran Daring Indonesia (SPAA). Jelas ini merupakan satu bentuk respons terhadap kemajuan teknologi,” jelasnya.
“Kemenag pada 2020 juga mendorong Sekolah dan PT untuk melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagai bentuk respons terhadap Pandemi. Nah, MOOCs, SPADA dan PJJ ini adalah model adaptasi Era 5.0,” tambahnya.
Dalam konteks dosen, Ia melanjutkan, performa bukan merupakan satunya-satunya alat untuk mengukur kualitas seorang akademisi, ilmuwan atau dosen.
“Misalnya, dosen yang sedikit menulis, performanya buruk tapi belum tentu tidak pintar. Begitu juga sebaliknya. Teknologi berbasis Big Data saat ini digunakan untuk mengukur performa mereka. Jadi, pintar atau tidaknya seorang dosen, sebaiknya tetap banyak meneliti atau menulis publikasi. Karya publikasi itulah yang menjadi ukuran penilaian kualitas seorang dosen,” pungkasnya.
“Dosen adalah peneliti atau penulis yang mendapatkan tugas tambahan mengajar. Akhirnya, secara teknis performa tersebut dapat dilihat dalam akun Google Scholar, SINTA, atau SCOPUS,” tutupnya. (man)