Seminar FU UIN Jakarta, Menilik Jejak Langkah Jamaah Islamiyah Pasca Bubar
Seminar FU UIN Jakarta, Menilik Jejak Langkah Jamaah Islamiyah Pasca Bubar

Ushul News – Ciputat - Menyoroti bubarnya Jamaah Islamiyah 30 Juni 2024, kolaborasi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah atau UIN Jakarta, El Bukhari Institute, dan Densus 88 Mabes Polri, menggelar seminar dengan tajuk “Mengikis Benih yang Pernah Tumbuh: Islamisme Pasca Pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia”. Seminar yang dipadati peserta ini dihelat di Ruang Teater Fakultas Ushuluddin Lantai 4. Kamis (10/10/2024).

Kegiatan yang berlangsung interaktif dari pukul 08.30- 12.30 WIB ini menghadirkan beberapa narasumber, diantaranya M. Syauqillah, S.H.I., M.Si., Ph. D (Ketua Program Studi Kajian SKSG UI), Dr. Rahmat Hidayatullah, MA (Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), Noor Huda Ismail, Ph.D (Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian), Uztad Fuad Junaedi (Eks Napiter Jemaah Islamiyah), Ustadz Ahong (El Bukhari institute), dan di moderatori oleh Saadatul Jannah, S.Th.I, MA (Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta).

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membuka cakrawala civitas akademika Fakultas Ushuluddin tentang bagaimana Jemaah Islamiyah setelah pembubarannya.

Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Ismatu Ropi, MA, Ph.D, menyambut baik kegiatan ini dan dalam sambutannya mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang strategis untuk semua bentuk ideologi atau gerakan, sehingga mereka selalu bisa tumbuh dan berkembang.

“Ya, apa pun ideologi, cara pandang, atau gerakan yang disemai di Indonesia selalu bisa tumbuh dan berkembang, termasuk gerakan yang mengimajinasikan pendirian negara Islam seperti Jamaah Islamiyah," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, pembubaran yang diinisiasi para tokoh Jamaah Islamiyah ini patut respon dengan cara pandang yang positif dan kritis.
 
"Negara perlu hadir dan proaktif menyalurkan energi mereka untuk berpartisipasi membangun negeri ini, sehingga mereka bisa bertansformasi menjadi Muslim yang taat dan menjadi orang Indonesia yang baik," imbuhnya.

Direktur El Bukhari Institute, Abdul Karim Munthe, mengajak mahasiswa dan audiens yang hadir dalam seminar tersebut untuk mengembangkan pemikiran yang kritis dalam merespon fenomena ini. 

"Ini dalam rangka membentengi diri dari paham dan ideologi radikal yang berpotensi mencabik-cabik kedamaian dan keharmonisan negeri ini," katanya. 

Moderator Seminar, Saadatul Jannah, mengawali diskusi dengan mengatakan, Jamaah Islamyiah tetap dianggap sebagai ancaman laten. Jamaah Islamiyah tidak beroperasi secara terbuka seperti pada masa puncaknya di awal 2000-an, dan banyak dari pemimpin serta anggotanya telah ditangkap atau tewas.

"Oleh karena itu, mahasiswa Fakultas Ushuluddin punya kewajiban untuk turun ke masyarakat mengklarifikasi stigma-stigma negatif yang masih tersebar luas di masyarakat" ujarnya.

Mantan Napiter Jamaah Islamiyah, Fuad Junaidi, dalam pemaparan materinya menjelaskan, Need dari JI sendiri sebenarnya hanya untuk di dengar aspirasinya. Disini, Fuad menjelaskan bagaimana pandangan Jamaah Islamiyah terhadap negara.

“Tidak lagi menganggap mereka yang tidak Islam adalah orang kafir, sehingga negara ini tidak menjadi bumi jihad, yang pada akhirnya mengakibatkan orang-orang Islam juga turut menjadi korban. Yang tadinya hanya negara kafir dan negara Islam, berubah menjadi negara kafir, negara Islam, dan darul ahdi wa syahadah. Indonesia termasuk yang ketiga (darul ahdi wa syahadah), tidak kafir, dan tidak pula Islam secara sepenuhnya. Di sini kami menerima Indonesia,” jelasnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta,  Rahmat Hidayatullah, menyoroti bahwa Islamisme merupakan sebutan untuk ideologi dan gerakan yang menginginkan berdirinya negara Islam.

"Islamisme bukan Islam itu sendiri. Ada banyak varian Islamisme, dari yang lentur dan menempuh strategi damai-gradual hingga yang menempuh strategi ekstrim kekerasan hingga bom bunuh diri. Jamaah Islamiyah merupakan varian Islamis jihadis pro-kekerasan yang terbentuk dari hasil penggabungan unsur lokal dan global," papar dia. 

Menurutnya, ada beberapa kecenderungan orientasi ideologis dan arah gerakan Jamaah Islamiyah pasca pembubaran. 

seminar tentang ji 2

"Dari Islamisme jihadis berubah menjadi Islamisme politik non-kekerasan, atau bertansfomasi menjadi Islamis misionaris yang berfokus pada agenda dakwah, atau menjadi Islamisme populer dan kultural. Setiap pilihan, negara harus menyiapkan skenario kebijakan dan program yang berbeda," tambahnya. 

Di tempat yang sama, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, setelah pembubaran, Jamaah Islamiyah akan menjadi ideologi yang bergerak tanpa wadah. 

“Penanganan terhadap mereka pasca pembubaran harus beragam, perlu memperhatikan aspek ideologi, psikologi dan geopolitik. Pembuatan roadmap penanganan juga harus memperhatikan perkembangan geopolitik,” pungkasnya.

Senada dengan hal itu, Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, M. Syauqillah, memandang pentingnya peta jalan atau roadmap penanganan yang terpadu.

“Setelah ini kita butuh roadmap penanganan yang terpadu dan berkelanjutan untuk menyambut situasi pascapembubaran. Implementasi roadmap ini harus melibatkan banyak stakeholder (pemangku jabatan) , tidak bisa jika hanya diserahkan ke satu institusi tertentu saja," ucapnya.(Hida/Man/FU)