Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Dorong Proyek Soekarno Garden di Uzbekistan
Ruang Pertemuan Lantai 4 Fakultas Ushuluddin, Berita UIN Online - Uzbekistan adalah tempat lahirnya para ilmuwan dan cendekiawan. Salah satu cendekiawan terkemuka yang lahir dari negara ini adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Ia lahir di kota Bukhara, Uzbekistan, pada 21 Juli 810.
Demikian disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin, Muhammad Rifqi Fatkhi, saat menjadi narasumber dalam Public Expose “1000 Cahaya Indonesia untuk Amirul Mukminin Fil Hadits” di Ruang Pertemuan lantai 4 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, Senin (25/11/2024).
Acara ini bertujuan untuk menggali lebih dalam kontribusi Imam Bukhari dalam membentuk peradaban dunia Islam, termasuk bagi masyarakat Muslim di Indonesia dan membahas dukungan masyarakat Indonesia terutama Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta pada pembangunan Taman dan Perpustakaan “Soekarno Garden” di kompleks makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan.
Sebagai informasi, taman dan perpustakaan Soekarno Garden di sekitar makam Imam Bukhari merujuk kepada peran Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, yang meminta pemerintahan Uzbekistan mencari dan menemukan makam Imam Bukhari. Permintaan disampaikan Presiden Soekarno sebagai persyaratan kehadirannya dalam memenuhi kunjungan ke negara tersebut.
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta sendiri, mendukung penuh pembangunan Taman dan Perpustakaan “Soekarno Garden”. Bahkan, berkomitmen mengkurasi koleksi buku terbaik tentang pemikiran Islam, sejarah, dan isu-isu kontemporer dari Indonesia, yang akan memperkaya koleksi perpustakaan Soekarno.
Kegiatan Public Expose “1000 Cahaya Indonesia untuk Amirul Mukminin Fil Hadist”, dihadiri oleh Duta Besar Indonesia untuk Uzbekistan, Yudi Alamin via zoom meeting. Dalam acara yang sama, sejumlah narasumber hadir dan berbagi wawasan tentang peran penting keilmuan Imam Bukhari. Diantaranya KH. Abdul Mun’im DZ (Pimpinan Yayasan Panata Dipantara), dan Dr. Rifqi Muhammad Fatkhi M.A. (Dosen Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta).
Imam Bukhari, tutur Dr. Fatkhi, adalah salah seorang ahli hadits terkemuka yang pernah ada. Salah satu kitabnya yang paling terkenal adalah Shahih Bukhari yang berisi kumpulan hadits shahih ditulis selama 16 tahun. Melalui kitab ini, lanjutnya, Imam Bukhari dikenal sebagai Amirul Mukminin fil Hadits atau pemimpin orang-orang yang beriman dalam ilmu hadits.
Buah intelektual Imam Bukhari dinikmati seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri karya-karya Imam Bukhari masih terus dibaca, dikaji, dan disebarluaskan. “Di Yogyakarta ada tradisi Bukhoren, di Magelang ada tradisi Bukhara Muqerenan, di Betawi ada khataman kitab Shahih Bukhari,” ungkapnya.
Di antara pengagum Imam Bukhari adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Bung Karno memang dikenal sebagai seorang nasionalis sejati. Namun, lanjutnya, yang tak banyak diketahui adalah bahwa ia juga merupakan seorang yang memiliki ketertarikan besar pada studi Islam termasuk hadits.
Perjumpaan awal Bung Karno dengan Imam Bukhari jauh sebelum ia menjadi Presiden. “Dalam bukunya, Islam Sontoloyo Bung Karno menulis surat kepada seorang teman untuk dikirim kitab Shahih Bukhari,” tutur Dosen Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin itu.
Lebih lanjut, Mantan Ketua Program Studi Ilmu Hadis UIN Jakarta itu menerangkan bahwa Imam Bukhari hidup dalam konteks sosial politik yang bergejolak. Salah satu kutipan Imam Bukhari yang cukup populer adalah seruan untuk berjuang melawan ketidakadilan.
“Berjuanglah. Jika kamu berhasil dan menang, kamu akan kehilangan banyak orang yang kamu cintai. Tapi, jika kamu diam dan menyerah, mati pun lebih buruk daripada hidup,” kata dia. Menurut Dr. Fatkhi, semangat juang Imam Bukhari tersebut boleh jadi merupakan salah satu inspirasi yang mendorong Bung Karno untuk menggelorakan api perlawanan terhadap kolonial.
Namun demikian, sambung Dr. Fatkhi, Bung Karno bukanlah pembaca yang tekstual dan menelan hadits Imam Bukhari secara mentah-mentah. “Bung Karno adalah seorang pembaca yang kritis. Cara Bung Karno memahami hadits bercorak ideal generalistik. Bung Karno meyakini hadits sebagai sesuatu yang ideal dan berlaku secara universal tapi tetap mempertimbangkan situasi, kondisi dan seterusnya,” paparnya.
Pimpinan Yayasan Panata Dipantar, KH. Abdul Mun’im DZ, mengafirmasi pernyataan Rifqi bahkan bergerak lebih jauh. Menurutnya, butir-butir Pancasila yang dicetuskan oleh Bung Karno sedikit banyak dipengaruhi oleh tradisi keislaman.
Hal ini tidak mengagetkan, kata Abdul, karena Bung Karno bergaul dengan banyak kalangan termasuk para ulama. Abdul menuturkan di Surabaya Bung Karno bertemu dengan Tjokroaminoto dan tokoh Masyumi yang lain. Tahun 30-an ketika dibuang ke Ende, Flores, NTT ia berkorespondensi dengan A. Hassan. Ia juga berguru pada Kyai Ahmad Besari di Cianjur. Serta berguru pada kakaknya Kartini, Sosrokartono. “Dari mereka Bung Karno banyak belajar agama Islam,” tuturnya.
Abdul menjelaskan, Bung Karno juga belajar Qur’an dari banyak sumber terutama dari bahasa Belanda dan Inggris. Namun, Bung Karno belum mendapatkan akses untuk mempelajari sumber kedua Islam yakni Hadits. “Alasan ini lah yang mendorong Bung Karno menulis surat untuk dikirimi kitab Shahih Bukhari,” ujarnya
Selanjutnya, menurut Abdul, Bung Karno sempat berguru secara langsung dengan Hadratusy Syaikh KH M. Hasyim Asy'ari dan beberapa kiai lainnya. “Dari situ Bung Karno semakin mengenal hadits Bukhari dan Muslim,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, sambung Abdul, Bung Karno juga memahami dan melakukan praktik tawasul dan ziarah. “Sebelum Indonesia merdeka makam pertama yang ia kunjungi adalah makam Pangeran Diponegoro,” jelasnya.
Melalui latar historis demikian, maka tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia dan Uzbekistan bermaksud untuk mengenang kiprah Bung Karno dengan membentuk taman dan perpustakaan "Soekarno Garden" di kompleks makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan.