Antusiasme Peserta Studium Generale FU: Menyibak Arah Baru Metodologi Studi Agama
Antusiasme Peserta Studium Generale FU: Menyibak Arah Baru Metodologi Studi Agama

foto stadium general SAA&MSAAAntusiasme Peserta Studium Generale FU: Menyibak Arah Baru Metodologi Studi Agama

 

Citizen Journalism:

Haera Inaya

Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin

 

UshulNews – Program Studi Agama-Agama (SAA) dan Magister Atudi Agama-Agama (MSAA) Fakultas Ushuluddin (FU) berkolaborasi dengan Himpunan Mahasiswa Siswa Program Studi Agama–Agama (HMPS SAA) menyelenggarakan Stadium Generale dan Bedah Buku dengan tema “Menyibak Arah Baru Metodologi Studi Agama-Agama: Antara Intra Religius dan Inter Religius”. Acara ini digelar secara luring di Ruang Teater H. A. R. Partosentono, lantai 4 Gedung FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selasa (05/03/2024)

Kuliah Umum berlangsung sejak pukul 08.30 WIB pagi ini menghadirkan salah satu narasumber dari luar UIN Jakarta, yang merupakan dosen sekaligus sebagai Kepala Program Studi Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) atau dikenal juga dengan Pusat Studi dan Lintas Budaya, Dr. Zainal Abidin Bagir.

Adapun dua narasumber yang lain merupakan Dosen UIN Syarif Hidayatullah, yakni Prof. Dr. Hamid Nasuki, M.Ag. dan Syaiful Azmi, M.A, serta dimoderatori oleh Trie Yunita Sari, M.A selaku dosen Studi Agama-Agama.

Studium Generale ini merupakan Studium Generale yang pertama kali digelar oleh Fakultas Ushuluddin di tahun 2024 ini, sebagaimana yang terkonfirmasi dari sambutan yang dibawakan oleh Wakil Dekan Akademik Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Media Zainul Bahri, M.A.

“Ini adalah Stadium Ganerale pertama Fakultas Ushuluddin di tahun ini (tahun 2024), alhamdulullah dilaksanakan oleh Prodi Studi Agama–Agama dan Magisternya sebelum dilaksanakan oleh prodi–prodi yang lain. Karena Prodi Agama-Agama ini salah satu prodi paling tua di Fakultas Ushuluddin,” katanya.

“Saya mewakili Dekan Fakultas Ushuluddin, mengucapkan terima kasih sebesar–besarnya kepada Ketua Prodi yang sudah mengadakan dengan susah payah acara ini dengan Himpunan Mahasiswa Prodi Studi Agama–Agama. Mudah–mudahan acara ini berjalan lancar hingga teman–teman dan kita semua dapat informasi dan perspektif baru tentang metodologi, konten atau materi studi agama–agama,” lanjutnya.

Narasumber pertama, Zainal Abidin Bagir mengungkapkan, buku yang akan dibedah sebetulnya merupakan eksperimen dan refleksi dari perjalanannya bersama rekan–rekan selama 15 tahun di ICRS dan merasa sangat senang dengan didiskusikannya karya tersebut.

Menurutnya, hal yang terpenting dan yang menjadi konsen utama menurutnya adalah seperti apa sebenarnya kajian yang baik dalam mengkaji agama, yang dalam hal ini ia memaparkan salah satu contoh dalam konteks global.

“Jadi istilah Inter Religious Studies mungkin belum terlalu lama, tahun 1990an sudah mulai ada yang menulis hanya saja belum terlalu populer. Baru sekitar 10 tahunan terakhir ini muncul beberapa buku ada misalnya berjudul Inter Religious Studies yang berusaha mendefinisikan apa itu Inter Religious Studies dan perbedaannya dari studi agama, kemudian ada juga yang berjudul Interface Religious Studies Defining A New Field yang keduanya terbit di Amerika,” papar dia.

Dia melanjutkan, ada juga satu buku yang ditulis oleh Prof. Franz Wisjen yang kebetulan juga merupakan dosen kami (UGM).

“Di tahun 2017 menulis sebuah karya hasil refleksi, dia mengajar dan meneliti di Afrika, bidangnya juga di Readboud University Belanda, judul bukunya agak aneh namanya Empyrical Theology, jadi theologi tapi empiris, yang sebetulnya agak mirip–mirip dengan Studi Agama,” sambungnya lagi.

Kemudian, Zainal menambahkan, Prof. Franz Wisjen ke Afrika dan awalnya melihat harmonisnya hubungan antara agama di sana, tetapi belakangan kurang lebih ketika peristiwa “Nine Eleven” (11/09/2001) yakni pemboman oleh kelompok keagamaan yang ekstrimis, maka ia tersadar selama ini dia menyebut situasi keberagamaan di Afrika sebagai Heaven of Piece (tempat perdamaian), tapi ternyata di situ Seeds of Conflict (bibit–bibit konflik).

“Maka ia pun melakukan refleksi, apasih yang salah dalam studi agama yang ia lakukan, sehingga tidak bisa membaca hal itu. Itulah yang mendorongnya untuk kemudian berpikir dalam konteks apa yang ia sebut sebagai Studi Antar Agama. Jadi buku ini subjudulnya ‘Seeds of Conflict in A Heaven of Peace: From Religious Studies to Interreligious Studies in Africa’, jadi konteksnya Afrika, sedangkan dua buku sebelumnya dalam konteks Amerika,” jelasnya.

Adapun bahasan oleh dua narasumber selanjutnya lebih berfokus berbicara terkait dinamika proses belajar–mengajar di lingkungan fakultas yang dalam hal ini program Studi Agama–Agama.

Kuliah ini kemudian diakhiri dengan sesi tanya jawab yang dibatasi tiga orang penanya dan di respon dengan sangat antusias baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa/i.(Hae/Man/FU)